Oleh: Atifa Rahmi (Jurusan Pendidikan Kimia, UPI Bandung)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
HADITS di atas menggambarkan betapa mulianya kedudukan seorang ibu. Betapa tidak, ia telah mengandung, melahirkan , menyusui, mengasuh dan mendidik anak- anaknya. Islam telah memuliakannya dengan memberinya tugas yang sesuai dengan fitrahnya sebagai seorang perempuan. Ummu wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu generasi) adalah dua gelar yang disematkan pada seorang perempuan yang sudah berkeluarga. Sehingga, sudah sepantasnyalah seorang anak berbakti pada orang tuanya terutama pada ibu.
Namun, kenyataan saat ini berkata lain. Tak sedikit anak zaman sekarang yang tak lagi menghormati ibunya. Bahkan, ada ada yang tega membunuh ibunya sendiri hanya karena tidak diberi uang jajan untuk malam mingguan ( news.okezone.com, 23/07/2013). Dan tak sedikit jua, tatkala usia tua menghampiri para ibu, tatkala sang ibu mengharapkan perlindungan dari anak- anaknya, mereka berakhir di panti jompo. Sang anak terlalu sibuk untuk sekedar mengurus orang tuanya sendiri. Mengapa hal ini dapat terjadi? Siapa yang patut untuk dipersalahkan?
Jika melihat secara dangkal, mungkin kita akan mempersalahkan si anak. Namun, jangan terburu- buru dulu. Jika kita lihat lebih dalam, tentu kita akan memiliki pandangan yang berbeda. Kehidupan yang serba sulit seperti saat sekarang ini, telah menghantarkan sang ibu untuk ikut terjun ke dunia kerja guna memenuhi kebutuhan keluarga. Ditambah lagi dengan merebaknya opini emansipasi wanita yang ingin menyejajarkan posisi perempuan dengan laki- laki. Hal ini dapat menjauhkan seorang ibu dari anaknya.
Tak sedikit ibu yang meninggalkan anaknya pada pengasuh sedangkan sang ibu sibuk bekerja. Umumnya, panggilan ibu melekat pada diri perempuan saat ini hanya karena proses mengadung dan melahirkan si anak. Namun untuk hal menyusui, susu formula telah menggatikan posisi ASI. Keberadaan pengasuh pun telah menggeser peran ibu dalam mengasuh dan mendidik anak. Ibu sebagai madrasatul uula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya tak lagi terjalankan. Sehingga tak heran, generasi yang dilahirkan pun adalah generasi yang rapuh dan rusak. Jika sudah begini, bagaimana anak akan hormat dan sayang pada kedua orang tuanya? Toh, kedua orang tuanya juga tidak memperhatikan mereka.
Untuk memperbaiki keadaan saat ini, kembalikanlah posisi ibu ada tempatnya. Peran ibu sebagai ummu warobbatul bait dan ummu ajyal bukanlah sebuah kehinaan bagi perempuan, melainkan gelar yang dapat memuliakan perempuan. Dalam Islam, perempuan memang tidak dilarang untuk bekerja, namun bekerja juga bukan pula hal yang wajib. Sehingga tidak seharusnya perempuan bekerja demi prestise yang hukumnya mubah dan meninggalkan kegiatan mendidik anak yang hukumnya wajib. Perempuan sudah selayaknya dinafkahi oleh suaminya, jika suami tidak ada, maka dinafkahi oleh wali nya. Jika masih tidak ada, maka negaralah yang akan bertanggung jawab menafkahinya. Beginilah cara Islam memuliakan perempuan.
Islam, sebuah agama yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia serta yang mempunyai solusi untuk segala permasalahan manusia. Namun, saat ini Islam dipisahkan dari kehidupan. Islam hanya mengatur ibadah ritual dan akhlak saja, sedangkan aturan Islam yang mengenai mu’amalah ditinggalkan. Akidah kita pun ikut tergerus. Kita dipaksa hanya mengakui Allah swt sebagai Pencipta (al-khaliq) , namun tidak mengakui Allah swt sebagai Pengatur (al-mudabbir) dalam kehidupan. Akibatnya, Islam sebagai solusi segala permasalahan tidak lagi dapat dirasakan. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama berjuang untuk menerapkan Islam secara keseluruhan dalam kehidupan dalam bingkai khilafah Islamiyyah. []
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
HADITS di atas menggambarkan betapa mulianya kedudukan seorang ibu. Betapa tidak, ia telah mengandung, melahirkan , menyusui, mengasuh dan mendidik anak- anaknya. Islam telah memuliakannya dengan memberinya tugas yang sesuai dengan fitrahnya sebagai seorang perempuan. Ummu wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu generasi) adalah dua gelar yang disematkan pada seorang perempuan yang sudah berkeluarga. Sehingga, sudah sepantasnyalah seorang anak berbakti pada orang tuanya terutama pada ibu.
Namun, kenyataan saat ini berkata lain. Tak sedikit anak zaman sekarang yang tak lagi menghormati ibunya. Bahkan, ada ada yang tega membunuh ibunya sendiri hanya karena tidak diberi uang jajan untuk malam mingguan ( news.okezone.com, 23/07/2013). Dan tak sedikit jua, tatkala usia tua menghampiri para ibu, tatkala sang ibu mengharapkan perlindungan dari anak- anaknya, mereka berakhir di panti jompo. Sang anak terlalu sibuk untuk sekedar mengurus orang tuanya sendiri. Mengapa hal ini dapat terjadi? Siapa yang patut untuk dipersalahkan?
Jika melihat secara dangkal, mungkin kita akan mempersalahkan si anak. Namun, jangan terburu- buru dulu. Jika kita lihat lebih dalam, tentu kita akan memiliki pandangan yang berbeda. Kehidupan yang serba sulit seperti saat sekarang ini, telah menghantarkan sang ibu untuk ikut terjun ke dunia kerja guna memenuhi kebutuhan keluarga. Ditambah lagi dengan merebaknya opini emansipasi wanita yang ingin menyejajarkan posisi perempuan dengan laki- laki. Hal ini dapat menjauhkan seorang ibu dari anaknya.
Tak sedikit ibu yang meninggalkan anaknya pada pengasuh sedangkan sang ibu sibuk bekerja. Umumnya, panggilan ibu melekat pada diri perempuan saat ini hanya karena proses mengadung dan melahirkan si anak. Namun untuk hal menyusui, susu formula telah menggatikan posisi ASI. Keberadaan pengasuh pun telah menggeser peran ibu dalam mengasuh dan mendidik anak. Ibu sebagai madrasatul uula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya tak lagi terjalankan. Sehingga tak heran, generasi yang dilahirkan pun adalah generasi yang rapuh dan rusak. Jika sudah begini, bagaimana anak akan hormat dan sayang pada kedua orang tuanya? Toh, kedua orang tuanya juga tidak memperhatikan mereka.
Untuk memperbaiki keadaan saat ini, kembalikanlah posisi ibu ada tempatnya. Peran ibu sebagai ummu warobbatul bait dan ummu ajyal bukanlah sebuah kehinaan bagi perempuan, melainkan gelar yang dapat memuliakan perempuan. Dalam Islam, perempuan memang tidak dilarang untuk bekerja, namun bekerja juga bukan pula hal yang wajib. Sehingga tidak seharusnya perempuan bekerja demi prestise yang hukumnya mubah dan meninggalkan kegiatan mendidik anak yang hukumnya wajib. Perempuan sudah selayaknya dinafkahi oleh suaminya, jika suami tidak ada, maka dinafkahi oleh wali nya. Jika masih tidak ada, maka negaralah yang akan bertanggung jawab menafkahinya. Beginilah cara Islam memuliakan perempuan.
Islam, sebuah agama yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia serta yang mempunyai solusi untuk segala permasalahan manusia. Namun, saat ini Islam dipisahkan dari kehidupan. Islam hanya mengatur ibadah ritual dan akhlak saja, sedangkan aturan Islam yang mengenai mu’amalah ditinggalkan. Akidah kita pun ikut tergerus. Kita dipaksa hanya mengakui Allah swt sebagai Pencipta (al-khaliq) , namun tidak mengakui Allah swt sebagai Pengatur (al-mudabbir) dalam kehidupan. Akibatnya, Islam sebagai solusi segala permasalahan tidak lagi dapat dirasakan. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama berjuang untuk menerapkan Islam secara keseluruhan dalam kehidupan dalam bingkai khilafah Islamiyyah. []